Kita
hadir bersama di depan ruangan itu. Setelah sekian lama tak bertemu.
Pertemuan itu membangkitkan kenanganku akan kalian. Ya, saat pertama
kita bersua di kampus.
Saat itu kita memakai pakaian yang sama. Celana hitam, kemeja putih
polos, dan dasi hitam sepuluh ribuan lengkap dengan peci. Derap langkah
sepatu kita bergemuruh meskipun tetap menggemakan langkah canggung ala
mahasiswa baru pada umumnya.Kita berbaris rapi meskipun benak mungkin
tengah teraduk-aduk penuh ketidakpastian. Pekan taaruf menjadi ajang
interaksi pertama yang berkesan.
Selanjutnya
kita saling sapa. Bertukar informasi nama, asal usul , dan sedikit
senda gurau pereda ketegangan. Pikiran-pikiran kita mengembara ke masa
depan yang penuh ketidakpastian. Namun tatapan matamu kawan, menyiratkan
percaya diri yang membuatku mengingatkan diri kembali pada tujuan
disertai keyakinan. Waktu itu kita sama- sama tersenyum: di sinilah kita
mulai merangkai cerah hari depan.
Dan
ruang-ruang perkuliahan menjadi ajang pertemuan kita berikutnya.
Seiring waktu kita menjadi akrab. Kita belajar bersama, bercanda bersama
dan sesekali melirik nakal pada gadis-gadis cantik kampus yang melintas
dengan dandanan sensual khas mode kampus kita. Yah, maklum baru lepas
SMA.: Darah muda kata bang Rhoma. Kawan, kenangan itu masih ada meskipun
sempat terkubur untuk waktu yang lama. Saat-saat kita berkejaran dengan
tugas dan membolak balik kertas ujian dengan raut cemas. Satu-persatu
mata perkuliahan kita jalani sambil sesekali menyelanya dengan aktivitas
masing-masing, sebagian dari kita ada yang sibuk memadu cinta dan
merangkai romansa, ada yang mulai belajar merasakan payahnya mencari
rupiah, aku berputar-putar mencari jatidiri.
Tahun-tahun
berlalu, pertemuan kita tak lagi sesering dahulu. Satu-persatu dari
kalian mulai menghilang. Aku sempat berpikir kalian telah lulus dan
telah merangkai karier di suatu perusahaan entah di mana. Mungkin juga
ada yang telah berwirausaha demi membuka kesempatan kerja. Saat itu aku
mulai merasa sendiri. Terjebak dalam labirin pencarian tanpa ujung yang
mencekam dan kesepian intelektual yang dari hari ke hari menjadikanku
kian frustasi.
Aku
pernah memikirkan kalian. Awalnya aku sempat merasa iri. Namun seiring
waktu aku sadar, bahwa kebahagiaan seorang kawan sejati adalah tatkala
mengetahui sahabatnya baik-baik saja dan hidup penuh suka cita. Aku tak
ingin jadi pendengki, yang mencari kenikmatan sadistik dengan menyakiti
diri layaknya masokis. Tidak, waktu itu aku mencoba mengatakan pada
diriku sendiri: Jika kalian telah sukses, maka aku akan menjadi salah
seorang yang turut berbangga.
Delapan
tahun kulewati masa studiku di kampus tempat kita dahulu saling sapa.
Aku belum juga menuntaskan kewajibanku. Aku masih harus berlari
kesana-kemari sekadar mendapatkan tanda tangan dosen dalam berita acara
ujian skripsiku. Aku juga masih harus berpacu dengan waktu guna mengurus
segala tetek bengek administrasi sebagai syarat tutup teori. Dalam
kondisi itu tanpa kuduga kita bertemu kembali.
Keadaan
kita sudah berbeda. Namun yang tak kuduga adalah bentuk situasinya.
Hari itu kita saling sapa dengan raut yang mirip delapan tahun yang
lalu. Pikiranku penuh tanya dan kebimbangan, mungkin demikian juga
kalian. Waktu kudengar bahwa kalian hendak mengurus surat pengunduran
diri, sungguh aku berduka. Berduka karena delapan tahun ini harus
berakhir seperti itu. Pergi begitu saja setelah pelbagai upaya serta
puluhan bahkan mungkin ratusan juta telah digelontorkan untuk kampus
kita.
Belakangan
aku mengetahui. Kalian bukan benar-benar mengundurkan diri, melainkan
didesak untuk mundur. Wajah tertunduk kalian jelas menyiratkan kepedihan
bahkan ketika kalian mencoba tersenyum. Aku berduka untuk kalian kawan.
Sungguh aku bisa merasakan kepedihan hati kalian. Empat tahun terakhir
ini pun bukan waktu yang mudah bagiku untuk menjalaninya. Empat tahun
terakhir dari delapan tahun masa studiku adalah masa-masa menyakitkan
lebih-lebih dalam sebuah institusi pendidikan yang menuhankan
kecepatan, akselerasi, dan akreditasi. Empat tahun terakhir ini kawan,
ada cemoohan , tatapan meremehkan, tudingan hingga gunjingan dari
lingkungan. Tidak mudah untuk bertahan kawan. Tidak mudah.
Menyandang
predikat sebagai mahasiswa angkatan lawas memang seolah kutukan. Di
mana pun dan kapan pun harus sentiasa siap menanggung curiga. Sebab
lingkungan terlanjur lebih memercayai sebuah stigma daripada alasan yang
dibubuhi fakta. Mahasiswa seperti kita tak bisa mengelak dari kenyataan
itu. Maka aku percaya kalian pun merasakan hal yang serupa meskipun
aktivitas kita selama empat tahun terakhir berbeda.
Kawan,
aku percaya kalian punya alasan sendiri hingga tak mampu menyelesaikan
studi lazimnya mahasiswa pada umumnya. Dan jelas keadaan ini bukanlah
yang kita inginkan. Namun siapa peduli dengan apa yang sebetulnya
terjadi. Kita hidup dalam lingkungan yang terus berpacu dalam narasi
kompetisi institusi. Bahkan meskipun alasan keterlambtan kita adalah
belajar, itu sama sekali tidak berarti dihadapan sebuah mekanisme yang
lebih menghargai aktivitas memburuh daripada menuntut ilmu dan
pengalaman.
Kawan,
entah apa yang saat ini tengah kalian pikirkan tentang masa depan.
Namun aku berharap bayangan kalian masih tetap secerah dahulu, seperti
saat kita pertama kali bertemu dengan celana hitam, kemeja putih polos,
dan dasi sepuluh ribuan lengkap dengan peci. Tetaplah pelihara harapan
sepahit apa pun keadaan yang kalian rasakan. Sebab realitas boleh jadi
jauh berbeda dengan apa yang mungkin bisa kita cerap dengan indra dan
pikiran yang amat terbatas ini.
Sandarkanlah
beban kesedihan kalian pada Allah, Zat yang maha pengasih dan
penyayang. Jangan pernah berputus asa dari rahmatNya. Apalagi mencari
sandaran lain sebagai tambatan pengharapan. Sungguh dalam situasi
semacam ini kita bisa melihat bahwa manusia memang terlampau lemah dan
kecil untuk dijadikan tempat berharap. Menjadikan manusia sebagai
sandaran karenanya akan berbuntut kekecewaan. Apa yang dilakukan lembaga
mahasiswa untuk membela mahasiswa seperti kita? Tidak ada. Sebab mereka
lebih memilih tunduk dan menghambakan diri pada narasi kecepatan studi;
atau birokrasi kampus yang mendesak kalian hari itu untuk mundur
alih-alih memberi edukasi dan motivasi.
Untukmu kawan-kawanku yang didesak mengundurkan diri setelah menempuh
delapan tahun masa studi, tulisan ini dan kelulusanku nanti akan
kupersembahkan untuk kalian. Sebagai kenangan pertemuan pertama kita
dulu; saat sama-sama membayangkan cerah hari depan dengan beratributkan
celana hitam, kemeja putih polos, dan dasi sepuluh ribuan lengkap dengan
peci[]
dikutip dari Wildan Blog
dikutip dari Wildan Blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar