Minggu, 30 September 2012

Kisah Inspiratif tentang mahasiswa yang di desak mengundurkan diri

Kita hadir bersama di depan ruangan itu. Setelah sekian lama tak bertemu. Pertemuan itu membangkitkan kenanganku akan kalian. Ya, saat pertama kita bersua di kampus.
          Saat itu kita memakai pakaian yang sama. Celana hitam, kemeja putih polos, dan dasi hitam sepuluh ribuan lengkap dengan peci. Derap langkah sepatu kita bergemuruh meskipun tetap menggemakan langkah canggung ala mahasiswa baru pada umumnya.Kita berbaris rapi meskipun benak mungkin tengah teraduk-aduk penuh ketidakpastian. Pekan taaruf menjadi ajang interaksi pertama yang berkesan.
Selanjutnya kita saling sapa.  Bertukar informasi nama, asal usul , dan sedikit senda gurau pereda ketegangan. Pikiran-pikiran kita mengembara ke masa depan yang penuh ketidakpastian. Namun tatapan matamu kawan, menyiratkan percaya diri yang membuatku mengingatkan diri kembali pada tujuan disertai keyakinan. Waktu itu kita sama- sama tersenyum: di sinilah kita mulai merangkai cerah hari depan.
Dan ruang-ruang perkuliahan menjadi ajang pertemuan kita berikutnya. Seiring waktu kita menjadi akrab. Kita belajar bersama, bercanda bersama dan sesekali melirik nakal pada gadis-gadis cantik kampus yang melintas dengan dandanan sensual khas mode kampus kita. Yah, maklum baru lepas SMA.: Darah muda kata bang Rhoma. Kawan, kenangan itu masih ada meskipun sempat terkubur untuk waktu yang lama. Saat-saat kita berkejaran dengan tugas dan membolak balik kertas ujian dengan raut cemas. Satu-persatu mata perkuliahan kita jalani sambil sesekali menyelanya dengan aktivitas masing-masing, sebagian dari kita ada yang sibuk memadu cinta dan merangkai romansa, ada yang mulai belajar merasakan payahnya mencari rupiah, aku berputar-putar mencari jatidiri.
Tahun-tahun berlalu, pertemuan kita tak lagi sesering dahulu. Satu-persatu dari kalian mulai menghilang. Aku sempat berpikir kalian telah lulus dan telah merangkai karier di suatu perusahaan entah di mana. Mungkin juga ada yang telah berwirausaha demi membuka kesempatan kerja. Saat itu aku mulai merasa sendiri. Terjebak dalam labirin pencarian tanpa ujung yang mencekam dan kesepian intelektual yang dari hari ke hari menjadikanku kian frustasi.
Aku pernah memikirkan kalian. Awalnya aku sempat merasa iri. Namun seiring waktu aku sadar, bahwa kebahagiaan seorang kawan sejati adalah tatkala mengetahui sahabatnya baik-baik saja dan hidup penuh suka cita. Aku tak ingin jadi pendengki, yang mencari kenikmatan sadistik dengan menyakiti diri layaknya masokis. Tidak, waktu itu aku mencoba mengatakan pada diriku sendiri: Jika kalian telah sukses, maka aku akan menjadi salah seorang yang turut berbangga.
 Delapan tahun kulewati masa studiku di kampus tempat kita dahulu saling sapa. Aku belum juga menuntaskan kewajibanku. Aku masih harus berlari kesana-kemari sekadar mendapatkan tanda tangan dosen dalam berita acara ujian skripsiku. Aku juga masih harus berpacu dengan waktu guna mengurus segala tetek bengek administrasi sebagai syarat tutup teori. Dalam kondisi itu tanpa kuduga kita bertemu kembali.
Keadaan kita sudah berbeda. Namun yang tak kuduga adalah bentuk situasinya. Hari itu kita saling sapa dengan raut yang mirip delapan tahun yang lalu. Pikiranku penuh tanya dan kebimbangan, mungkin demikian juga kalian. Waktu kudengar bahwa kalian hendak mengurus surat pengunduran diri, sungguh aku berduka. Berduka karena delapan tahun ini harus berakhir seperti itu. Pergi begitu saja setelah pelbagai upaya serta  puluhan bahkan mungkin ratusan juta telah digelontorkan untuk kampus kita.
Belakangan aku mengetahui. Kalian bukan benar-benar mengundurkan diri, melainkan didesak untuk mundur. Wajah tertunduk kalian jelas menyiratkan kepedihan bahkan ketika kalian mencoba tersenyum. Aku berduka untuk kalian kawan. Sungguh aku bisa merasakan kepedihan hati kalian. Empat tahun terakhir ini pun bukan waktu yang mudah bagiku untuk menjalaninya. Empat tahun terakhir dari delapan tahun masa studiku adalah masa-masa menyakitkan lebih-lebih dalam sebuah institusi pendidikan yang  menuhankan kecepatan, akselerasi, dan akreditasi. Empat tahun terakhir ini kawan, ada cemoohan , tatapan meremehkan, tudingan hingga gunjingan dari lingkungan. Tidak mudah untuk bertahan kawan. Tidak mudah.
 Menyandang predikat sebagai mahasiswa angkatan lawas memang seolah kutukan. Di mana pun dan kapan pun harus sentiasa siap menanggung curiga. Sebab lingkungan terlanjur lebih memercayai sebuah stigma daripada alasan yang dibubuhi fakta. Mahasiswa seperti kita tak bisa mengelak dari kenyataan itu. Maka aku percaya kalian pun merasakan hal yang serupa meskipun aktivitas kita selama empat tahun terakhir berbeda.
Kawan, aku percaya kalian punya alasan sendiri hingga tak mampu menyelesaikan studi lazimnya mahasiswa pada umumnya. Dan jelas keadaan ini bukanlah yang kita inginkan. Namun siapa peduli dengan apa yang sebetulnya terjadi. Kita hidup dalam lingkungan yang terus berpacu dalam narasi kompetisi institusi. Bahkan meskipun alasan keterlambtan kita adalah belajar, itu sama sekali tidak berarti dihadapan sebuah mekanisme yang lebih menghargai aktivitas memburuh daripada menuntut ilmu dan pengalaman.
Kawan, entah apa yang saat ini tengah kalian pikirkan tentang masa depan. Namun aku berharap bayangan kalian masih tetap secerah dahulu, seperti saat kita pertama kali bertemu dengan celana hitam, kemeja putih polos, dan dasi sepuluh ribuan lengkap dengan peci. Tetaplah pelihara harapan sepahit apa pun keadaan yang kalian rasakan. Sebab realitas boleh jadi jauh berbeda dengan apa yang mungkin bisa kita cerap dengan indra dan pikiran yang amat terbatas ini.
Sandarkanlah beban kesedihan kalian pada Allah, Zat yang maha pengasih dan penyayang. Jangan pernah berputus asa dari rahmatNya. Apalagi mencari sandaran lain sebagai tambatan pengharapan. Sungguh dalam situasi semacam ini kita bisa melihat bahwa manusia memang terlampau lemah dan kecil untuk dijadikan tempat berharap. Menjadikan manusia sebagai sandaran karenanya akan berbuntut kekecewaan. Apa yang dilakukan lembaga mahasiswa untuk membela mahasiswa seperti kita? Tidak ada. Sebab mereka lebih memilih tunduk dan menghambakan diri pada narasi kecepatan studi; atau birokrasi kampus yang mendesak kalian hari itu untuk mundur alih-alih memberi edukasi dan motivasi.
            Untukmu kawan-kawanku yang didesak mengundurkan diri setelah menempuh delapan tahun masa studi, tulisan ini dan kelulusanku nanti akan kupersembahkan untuk kalian. Sebagai kenangan pertemuan pertama kita dulu; saat sama-sama membayangkan cerah hari depan dengan beratributkan celana hitam, kemeja putih polos, dan dasi sepuluh ribuan lengkap dengan peci[]

dikutip dari Wildan Blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar